Sintesis Materi: Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya
3.2.a.9. Koneksi Antar Materi
Oleh
Gunanto
Peran Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya
Di dalam ekosistem sekolah terdapat interaksi antara faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik terdiri atas murid, kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, pengawas sekolah, orang tua murid dan masyarakat sekitar sekolah. Sedangkan faktor abiotik terdiri atas keuangan serta sarana dan prasarana. Kedua faktor ini saling berinteraksi satu sama lain, di mana satu faktor akan mempengaruhi faktor lainnya, faktor-faktor biotik akan saling membutuhkan satu sama lainnya, sedangkan faktor-faktor abiotik akan berperan mempengaruhi tingkat keberhasilan proses pembelajaran.
Seorang pemimpin wajib membangun ekosistem yang dapat merangsang kreativitas untuk menunjang keberhasilan tujuan pendidikan. Keberhasilan sebuah proses pembelajaran sangat tergantung pada cara pandang dalam melihat ekosistemnya: apakah sebagai kekuatan atau sebagai kekurangan. Pemimpin yang memandang semua yang dimiliki adalah suatu kekuatan, tidak akan berfokus pada kekurangan tapi berupaya pada pemanfaatan aset atau sumber daya yang dimiliki.
Dengan kata lain, pemimpin harus bisa memberdayakan sumber daya yang ada di sekolahnya untuk mengembangkan dan memajukan sekolah sehingga dapat mencapai visi dan misi sekolahnya.
Pendekatan Berbasis Aset
Pendekatan Berbasis Aset (Asset Based Thingking) adalah konsep yang dikembangkan oleh Dr. Kathryn Cramer yang menggunakan kekuatan sebagai tumpuan berpikir. Kita diajak untuk memusatkan perhatian pada apa yang bekerja, yang menjadi inspirasi, yang menjadi kekuatan ataupun potensi yang positif. Di sekolah, pendekatan ini memberikan nilai lebih pada kapasitas, kemampuan, pengetahuan, jaringan dan potensi yang dimiliki oleh elemen setiap aset.
Berbeda dengan pendekatan berbasis kekurangan/masalah (Deficit-Based Thingking) yang memusatkan perhatian pada apa yang mengganggu, apa yang kurang, dan apa yang tidak bekerja. Segala sesuatunya dipandang dari sisi negatif sehingga minim perhatian terhadap peluang yang ada di sekitar.
Pengembangan sekolah dengan pendekatan berbasis aset menekankan kepada kemandirian dari elemen setiap aset untuk dapat menyelesaikan tantangan yang dihadapinya dengan bermodalkan kekuatan dan potensi yang ada dalam diri mereka sendiri, sehingga hasil yang diharapkan bisa berkelanjutan.
Implementasi Pendekatan Berbasis Aset
Lingkungan kelas dan sekolah adalah miniatur dari tatanan masyarakat di suatu daerah, karena itu pendekatan berbasis aset dalam rangka pengembangan komunitas atau masyarakat bisa diterapkan di dalam kelas dan lingkungan sekolah. Tujuannya adalah untuk mengupayakan pelayanan terbaik kepada murid.
Perubahan yang signifikan hanya akan terjadi jika diupayakan oleh warga masyarakat itu sendiri. Apabila diaplikasikan ke sekolah, perubahan akan terjadi jika diinginkan dan dilakukan oleh seluruh warga sekolah. Warga sekolah harus bertanggung jawab atas apa yang sudah mereka mulai. Dengan demikian, membangun dan membina hubungan antar warga sekolah menjadi sangat penting untuk membangun sekolah yang sehat dan inklusif.
Mulai sekarang, sekolah harus mengubah paradigma berpikir, salah satunya membangun dengan melihat pada kekuatan, potensi, dan tantangan. Fokus pada pembangunan sumber daya yang tersedia, kapasitas yang dimiliki, serta kekuatan dan aspirasi yang sudah ada. Dari pada menanyakan, "ada masalah apa?' dan "bagaimana memperbaikinya?", lebih baik bertanya "apa yang telah berhasil dilakukan?" dan "bagaimana mengupayakan lebih banyak hasil lagi?" Cara bertanya seperti ini akan mendorong kreativitas. Perubahan positif bisa diciptakan dari perbincangan sederhana untuk memulai suatu tindakan. Diawali dengan perubahan pola pikir (mindset) dan sikap positif yang kemudian menjadi upaya membangun sekolah dengan selalu memprioritaskan suasana yang menyenangkan dan kepemimpinan kepala sekolah atau tim-tim di sekolah sehingga pengembangan dan pembaharuan dapat dilakukan secara terus menerus (berkelanjutan).
Hubungan Pengelolaan Sumber Daya dengan Proses Pembelajaran Murid
Sumberdaya atau aset yang dimiliki komunitas adalah kunci dari usaha perbaikan kehidupan. Menurut Green dan Haines (2002) dalam Aset building and community development, ada 7 aset yang menjadi modal utama dalam suatu komunitas yaitu modal manusia, modal sosial, modal fisik, modal lingkungan alam, modal finansial, modal politik serta modal agama dan budaya.
Dalam pengembangan sekolah, ketujuh modal ini digunakan untuk mendukung kegiatan pembelajaran dan pengembangan minat bakat murid dan berbagai kegiatan sekolah dalam mewujudkan murid merdeka. Sumberdaya yang dikelola dengan tepat dapat membantu sekolah untuk mencapai tujuan serta visi misi yang sudah ditetapkan dalam dokumen 1 KTSP.
Guru sebagai pemimpin pembelajaran harus mulai menggunakan pendekatan berbasis aset untuk menggali potensi murid yang berbeda-beda sesuai kodrat murid-muridnya. Dari pada mengeluhkan kekurangan murid-muridnya, lebih baik guru memandang keberagaman kemampuan murid-muridnya sebagai peluang untuk menumbuhkan bibit-bibit unggul sesuai minat dan bakatnya masing-masing. Di sini terlihat bahwa pengelolaan sumber daya jika dilakukan dengan tepat akan membantu proses pembelajaran murid sehingga kekuatan kodrat murid dapat berkembang dengan maksimal.
Keterkaitan Dengan Materi Sebelumnya
Refleksi Filosofi Ki Hajar Dewantara
"Maksud pendidikan itu adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia, maupun anggota masyarakat" (Ki Hadjar Dewantara, 1936, Dasar-Dasar Pendidikan, hal.1, paragraf 4). Pernyataan KHD tersebut menjadi dasar pemikiran bagi guru untuk memahami bahwa tugas pendidik hanyalah "menuntun" bukan merubah kodrat murid. Setiap anak pada hakekatnya memiliki kekuatan kodrat (potensi) yang berbeda-beda, Tugas guru adalah mengarahkan potensi murid tersebut untuk dapat mencapai tujuan belajarnya yakni kebahagiaan dan keselamatan yang setinggi-tingginya. Kodrat murid yang berbeda-beda harus dipandang sebagai aset dan peluang untuk bisa memfasilitasi pendidikan dan pembelajaran melalui pengembangan bakat dan minat mereka.
Nilai Dan Peran Guru Penggerak
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional, Bab I, Ketentuan Umum Pasal 1, No.1 dinyatakan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Tujuan pendidikan pada dasarnya adalah menumbuhkan karakter luhur pada diri murid seperti yang tercantum dalam Undang-Undang SISDIKNAS tersebut. Guru berperan membentuk karakter murid melalui keteladanan dan pembiasaan yang terus menerus. Nilai-nilai tersebut ditumbuhkan lewat proses dan pemaknaan atas pengalaman, memastikan proses dan pemaknaan positif , memelihara emosi dan pikiran positif, sehingga diharapkan nilai-nilai luhur tersebut muncul, tumbuh dan lestari. Nilai-nilai positif yang melekat pada murid, guru, dan warga sekolah lainnya merupakan aset (modal) manusia dalam pengembangan sekolah.
Gambar 1. Suasana rapat menyusun program pengembangan sekolah yang berpihak pada murid.
Visi Guru Penggerak
Seorang pemimpin pembelajaran hendaknya berinisiatif melakukan perubahan yang berbasis kekuatan/aset/potensi. Perubahan tersebut bisa dilakukan dengan paradigma inkuiri apresiatif yang percaya bahwa setiap orang memiliki sisi positif yang bisa diajak berkolaborasi untuk melakukan perubahan positif. Paradigma tersebut bisa dilakukan dengan tahapan BAGJA. Pengembangan visi perubahan di sekolah dapat dimulai dengan mengembangkan visi pribadi, memetakan kekuatan dalam diri dan potensi murid, serta merencanakan dan mengelola strategi perubahan. Hal ini sejalan dengan pendekatan pengelolaan sumber daya berbasis aset.
Budaya Positif
Tujuan membangun budaya positif adalah menumbuhkan karakter murid. Tujuan akhir dari disiplin adalah agar anak memahami perilaku mereka sendiri, mengambil inisiatif, menjadi bertanggung jawab atas pilihan mereka, dan menghargai diri mereka sendiri dan orang lain. Tindakan guru yang tepat yaitu dengan bertanya dan membuat kesepakatan agar mendorong motivasi intrinsik. Budaya positif yang diterapkan di sekolah menjadi aset budaya yang memunculkan lingkungan yang kondusif dalam mewujudkan murid merdeka.
Pembelajaran Berdiferensiasi
Setiap individu memiliki keunikan atau karakteristik, setiap murid memiliki kekuatan kodratnya masing-masing. Mereka berbeda dari segi kesiapan belajar, minat dan profil belajarnya. Karena itu diperlukan pembelajaran berdiferensiasi untuk memenuhi kebutuhan belajar individual mereka yang beragam. Keberagaman anak dengan minat dan potensi berbeda tidak boleh dipandang sebagai masalah atau kekurangan sehingga kita kemudian melabeli mereka dengan dikotomi pintar-bodoh. Karena sesungguhnya tidak ada murid yang bodoh. Yang ada adalah murid dengan kepandaian yang berbeda-beda. Keberagaman anak harus dipandang sebagai peluang atau aset untuk bisa kita kembangkan sesuai dengan kebutuhan mereka sehingga mereka bisa mencapai tujuan belajarnya dengan caranya masing-masing sehingga potensi mereka dapat berkembang maksimal. Mendesain pengalaman belajar yang bermakna, menantang, dan relevan bisa menjadi support system untuk perbedaan individual murid. Beberapa cara yang bisa dilakukan guru diantaranya adalah:
- Diferensiasi Produk : Dengan memberikan kesempatan kepada murid untuk mendemonstrasikan pemahamannya melalui produk yang berbeda sesuai dengan yang paling disukai dan paling bisa dilakukannya.
- Diferensiasi Proses : Dengan memberikan proses belajar yang beragam sesuai tahapan kesiapan belajar siswa dan memberikan bantuan yang berbeda mulai dari scaffolding hingga tutor teman sebaya.
- Diferensiasi Konten : Strategi membedakan pengorganisasian dan format penyampaian konten. Konten adalah pengetahuan dan ketrampilan yang perlu dipelajari murid berdasarkan kurikulum.
Strategi diferensiasi ini merupakan wujud pengembangan aset murid (manusia) sesuai dengan kondisi awal mereka yang beragam dan harus diterima oleh guru.
Pembelajaran Sosial Emosional
Pembelajaran Sosial Emosional memungkinkan anak (murid) dan orang dewasa (guru dan warga sekolah lainnya) memperoleh dan menerapkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap positif mengenai aspek sosial dan emosional. Dilandasi dengan kesadaran penuh, melakukan kegiatan yang melatih 5 kompetensi sosial emosianal yang terdiri atas pengenalan emosi (kesadaran diri), pengelolaan emosi dan fokus (pengelolaan diri), kesadaran sosial (empati), resiliensi (ketrampilan sosial), serta pengambilan keputusan yang bertanggunga jawab. Kesemuanya itu untuk mencapai kesejahteraan psikologis murid (students wellbeing). Pengetahuan dan keterampilan sosial emosional yang diterapkan oleh guru, siswa dan warga sekolah lainnya merupakan aset atau sumber daya manusia dalam pengembangan sekolah yang berpihak pada murid.
Couching
Couching adalah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis di mana couch memfasilitasi couchee untuk menggali potensi dan menemukan sendiri solusi dari situasi yang dihadapinya. Keterampilan couching sangat penting diterapkan di sekolah oleh kepala sekolah dan guru karena bisa membantu seseorang (guru dan murid) untuk menemukan kekuatannya dan menggunakannya untuk menyelesaikan masalah baik dalam hal pembelajaran maupun di luar pembelajaran. Keterampilan melaksanakan couching merupakan modal manusia yang bisa digunakan untuk pengembangan sekolah dalam rangka memberikan pelayanan terbaik kepada murid dan guru.
Pengambilan Keputusan sebagai pemimpin pembelajaran
Mengambil suatu keputusan yang tepat, cepat, dan efektif boleh jadi merupakan tugas keseharian tersulit seorang pemimpin. Keputusan-keputusan ini, secara langsung atau tidak langsung bisa menentukan arah dan tujuan institusi atau lembaga yang dipimpin, yang tentunya akan berdampak kepada mutu pendidikan yang didapatkan murid-murid. Pengambilan keputusan yang bertanggung jawab dengan mempertimbangkan 4 paradigma, 3 prinsip, dan 9 langkah pengujian terhadap kasus yang memuat unsur dilema etika harus konsisten dilakukan oleh guru sebagai pemimpin pembelajaran karena keputusan yang tepat akan menimbulkan lingkungan yang positif, kondusif, aman, dan nyaman. Hal tersebut bisa menjadi modal lingkungan yang bisa diberdayakan untuk melakukan pengembangan sekolah.
Perbedaan Sebelum dan Setelah Mempelajari Modul 3.2 Pemimpin Pembelajaran dalam Pengelolaan Sumber Daya
Sebelum mempelajari modul 3.2 ini, saya lebih banyak atau lebih sering memandang murid dan sekolah berdasarkan kekurangan atau masalah (deficit-based thingking) meski juga beberapa kali berbasis kekuatan/aset. Misalnya kemapuan dasar (intake) murid di sekolah saya yang beragam diantaranya minat yang rendah, keterampilan berkomunikasi yang rendah dan kepercayaan diri yang rendah sehingga ketika saya merancang pembelajaran bermuatan Higher Order Thingking Skills (HOTS) hanya beberapa orang saja yang aktif dan bisa mempresentasikan hasil belajarnya, sedangkan yang lainnya cenderung pasif. Setelah saya mempelajari modul ini, saya memiliki wawasan dan pengetahuan baru bahwa apa yang saya kira merupakan kesulitan, masalah atau kelemahan, sesungguhnya adalah tantangan yang harus saya selesaikan. Saya mulai mengubah pola pikir saya untuk fokus menemukan potensi atau hal-hal positif dalam setiap masalah yang saya hadapi untuk melakukan pembelajaran yang lebih baik.
Komentar
Posting Komentar